Jurnal Bayi Tabung Menurut Pandangan Islam


BAYI TABUNG MENURUT PANDANGAN ISLAM
Indah Syahnur
STAI Hubbulwathan Duri
Email: Indahsyahnur14@gmail.com

Abstrak:

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini memungkinkan bagi pasangan yang sulit untuk memperoleh anak, bisa menempuh jalan lain misalnya bayi tabung. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan (tak kunjung memperoleh keturunan) ketika metode lainnya tidak berhasil.  Namun masalahnya melakukan metode bayi tabung, jika bayi tabung dilakukan dengan cara sperma dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu dibolehkan. Tetapi bagaimana hukum bayi tabung dalam islam jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu bukan berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan, bahkan dianggap sebagai perzinahan terselubung.
With advances in technology now it is possible for couples who are difficult to have children, can go the other way such as IVF (In Vitro Fertilization). IVF(In Vitro Fertilization) is one method to overcome fertility problems (never get offspring) when other methods do not work. But the problem is doing the IVF (In Vitro Fertilization).  method, if the IVF (In Vitro Fertilization).  is done by sperm and ovum that are brought together from a legitimate husband and wife, then it is permissible. But what about IVF (In Vitro Fertilization).  law in Islam if the sperm and ovum that is reunited is not from a legitimate husband and wife, then it is not justified, even considered as covert adultery.

Kata Kunci    : Bayi tabung, Hukum Bayi Tabung dalam Islam

PENDAHULUAN
Bayi tabung adalah merupakan individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses pembuatannya terjadi di luar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam proses kejadiannya itu ditempuh dengan cara inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui seng-gama. Bayi yang di dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio dengan bantuan ilmu kedokteran. Dikatakan sebagai kehamilan, bayi tabung karena benih laki-laki yang disebut dari zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung. Untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim, perlu disediakan ovom (sel telur dan sperma). Jika saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur) terdapat sel-sel yang masak maka sel telur itu di hisab dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut, kemudian di taruh dalam suatu tabung kimia, lalu di simpan di laboratorium yang di beri suhu seperti panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin tersebut bercampur (zygote) dalam tabung sehingga terjadinya fertilasi. Zygote berkembang menjadi morulla lalu dinidasikan ke dalam rahim seorang wanita, akhirnya wanita itu akan hamil.   Masalah bayi tabung, jika bayi tabung, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu dibolehkan. Tetapi jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu bukan berasal dari suami istri yang sah, maka hal itu tidak dibenarkan, bahkan dianggap sebagai perzinahan terselubung.
Dibolehkannya bayi tabung bagi suami istri yang sah, disebabkan karena manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. bagi suami istri yang sangat merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami, maka setelah diproses melalui bayi tabung, anak yang dirindukan itu akan segera hadir di sisiny. disinilah letak maslahatnya, sehingga kebolehannya didasarkan melalui mashlahat al mursalah.

PEMBAHASAN
1.      Bayi Tabung
Bayi tabung merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin. Inseminatus artinya pemasukan atau penyampaian. Artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Bayi yang di dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio dengan bantuan ilmu kedokteran. Dikatakan sebagai kehamilan, bayi tabung karena benih laki-laki yang disebut dari zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung. Istilah ini tidak berarti bayi yang terbentuk di dalam tabung, melainkan dimaksudkan sebagai metode untuk membantu pasangan subur yang mengalami kesulitan di bidang” pembuahan “sel telur wanita oleh sel sperma pria. Secara teknis, dokter mengambil sel telur dari indung telur wanita dengan alat yang disebut “laparoscop” ( temuan dr. Patrick C. Steptoe dari Inggris ).
Sel telur itu kemudian diletakkan dalam suatu mangkuk kecil dari kaca dan dipertemukan dengan sperma dari suami wanita tadi. Setelah terjadi pembuahan di dalam mangkuk kaca itu tersebut, kemudian hasil pembuahan itu dimasukkan lagi ke dalam rahim sang ibu untuk kemudian mengalami masa kehamilan dan melahirkan anak seperti biasa.
2.      Hukum Bayi Tabung Dalam Islam
Masalah bayi tabung (inseminasi buatan) telah banyak dibicarakan di kalangan Islam dan di luar Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Lembaga Fiqh Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa teknik inseminasi buatan (bayi tabung) dan mengharamkan bayi tabung dengan sperma atau ovum donor. Vatikan secara resmi pada tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan, dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia.
Kemudian Kartono Muhammad, Ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengharap agar masyarakat Indonesia bisa memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri. Dalam pandangan Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Fiqh Islam:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة والضرورة تبيح المحظورات
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan, donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syara’ yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor ialah sebagai berikut:
وَلَقَدْ كَرَّ مْنَا بَنىَ عَادَمَ وَحَملْنهُمْ فِي اَلْبَرِّ وَاَلْبَحْرِ وَرَزَ قْنَهٌم مِّنَ  اَلطَيِّبَتِ وَفَضَّلْنَهُمْ عَلَ كَثير مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْنَا تَفْضِيلاً    
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. al- Isrâ’ [17]: 70).
لَقَدْ خَلَقْنَا اَلاْءِ نسَنَ فِي أَحْسَنِ تَقَوِيمٍ  
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. at-Tîn [95]: 4).
لا يحل لا مرئ يؤمن با الله واليوم ا لأ خر أ ن يسقي ما ء ه زرع غيره
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”.
Pada zaman imam-imam madzhab, masalah bayi tabung (inseminasi buatan) belum muncul, sehingga tidak diperoleh fatwa hukumnya dari mereka. Menurut hemat penulis, hadits tersebut bisa menjadi dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata ma’ dalam bahasa Arab dan juga di dalam al-Qur’an bisa dipakai untuk pengertian air hujan atau air pada umumnya, dan bisa juga untuk pengertian benda cair atau sperma. Sedangkan kaidah hukum fiqh Islam berbunyi:
درء المفا سد مقد م ءلى جلب المصا لح
Menghindari mahdarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari atau menarik maslahah.
      Kita dapat memaklumi bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madharatnya daripada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami dan/atau istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya (tuba palupi) terlalu sempit atau ejakulasi (pancaran sperma) terlalu lemah. Sedangkan mafsadah inseminasi buatan atau bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain:
a)      Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnian nasab.
b)      Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam
c)      Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah
d)     Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter/ mental si anak dengan bapak-ibunya
e)      Anak hasil inseminasi buatan/bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal/nasabnya
f)       Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alami.

Ada tujuh macam metode yang digunakan dalam bayi tabung, yaitu :
1.      Sel sperma suami disuntikkan langsung ke sel telur (ovum) istri.
Sperma seorang suami diambil lalu diinjeksikan langsung pada tempat yang sesuai dalam rahim sang istri sehingga sperma itu akan bertemu dengan sel telur yang dipancarkan sang istri dan berproses dengan cara yang alami sebagaimana dalam hubungan suami istri. Kemudian setelah pembuahan itu terjadi, dia akan menempel pada rahim sang istri. Cara ini ditempuh, jika sang suami memiliki problem sehingga spermanya tidak bisa sampai pada tempat yang sesuai dalam rahim.
2.      Sel sperma berasal dari suami, sel telur (ovum) berasal dari istri kemudian ditanamkan ke dalam rahim istri.
Sel sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan keduanya diletakkan di dalam saluran eksperimen (tabung), lalu diproses secara fisika hingga sel sperma suami mampu membuahi sel telur istrinya di tabung eksperimen. Lantas, setelah pembuahan terjadi, pada waktu yang telah ditentukan, sperma tersebut dipindahkan kembali dari tabung ke dalam rahim istrinya sebagai pemilik sel telur, agar sel mani yang telah mengalami pembuahan dapat melekat pada dinding rahim hingga ia berkembang dan memulai kehidupannya seperti janin-janin lainnya. Pada akhirnya si istri dapat melahirkan bayi secara alami. Anak itulah yang sekarang dikenal dengan sebutan bayi tabung. Metode ini ditempuh, apabila si istri mandul akibat saluran fallopi tersumbat. Yakni, saluran yang menghubungkan sel telur ke dalam rahim.
3.      Sel sperma berasal dari donor, sel telur (ovum) berasal dari istri kemudian ditanamkan ke dalam rahim istri
Sperma seorang lelaki (sperma donor) diambil lalu diinjeksikan pada rahim istri sehingga terjadi pembuahan di dalam rahim, kemudian selanjutnya menempel pada dinding rahim sebagaimana pada cara pertama. Metode digunakan karena sang suami mandul, sehingga sperma diambilkan dari lelaki lain.
4.      Sel sperma berasal dari suami, sel telur (ovum) berasal dari donor kemudian ditanamkan ke dalam rahim istri.
Pembuahan sel secara eksternal (di dalam tabung) yang berlangsung antara sel sperma yang diambil dari suami dan sel telur yang diambil dari indung telur wanita lain yang bukan istrinya (kini disebut donatur). Kemudian, pembuahan lanjutan diproses di dalam rahim istrinya. Mereka menempuh metode kedua ini, ketika indung telur milik istrinya mandul (tidak berproduksi), tapi rahimnya sehat dan siap melakukan pembuahan (fertilisasi).
5.      Sel sperma berasal dari donor, sel telur (ovum) berasal dari donor kemudian ditanamkan ke dalam rahim istri.
Pembuahan sel secara eksternal (di dalam tabung) yang berlangsung antara sel sperma pria dan sel telur wanita yang bukan istrinya, kemudian pembuahan bertempat di dalam rahim wanita lain yang telah bersuami (ada 2 wanita sukarelawan). Mereka menempuh metode ketiga ini ketika indung telur wanita yang bersuami tersebut mandul, tapi rahimnya tetap sehat, demikian pula suaminya juga mandul. Kedua pasangan suami istri yang mandul ini sangat menginginkan anak.
6.      Sel sperma berasal dari suami, sel telur (ovum) berasal dari istri kemudian ditanamkan ke dalam rahim wanita lain (rahim sewaan)
Pembuahan sel secara eksternal (di dalam tabung) antara 2 bibit sel milik suami-istri, lalu proses pembuahannya dilangsungkan di dalam rahim wanita lain yang siap mengandung. Metode keempat ini ditempuh, ketika pihak istri tidak mampu hamil karena ada kendala di dalam rahimnya, tetapi indung telurnya tetap sehat dan bereproduksi atau ia tidak mau mengandung dan meminta wanita lain supaya mengandung anaknya.
7.      Sel sperma berasal dari suami, sel telur (ovum) berasal dari istri kemudian ditanamkan ke dalam rahim istri lainnya.
Pelaksanaan metode ketujuh ini sama dengan metode keenam, hanya saja wanita yang ditunjuk sebagai sukarelawan yang bersedia mengandung itu adalah istri kedua dari suami wanita pemilik sel telur, sehingga istri kedua yang mengalami kehamilan dan proses pembuahan. Metode ketujuh ini tidak berlaku di negara-negara yang hukumnya melarang poligami dan hanya berlangsung di negara-negara yang melegalisasi poligami.
Mengenai status/anak hasil inseminasi dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank sperma dan bank ovum untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi tanpa perlu adanya perkawinan.
Pemerintah hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), dan pemerintah hendaknya juga melarang keras dengan sanksi-sanksi hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan inseminasi buatan pada manusia dengan sperma dan/atau ovum donor.
Permasalahannya kemudian adalah apabila upaya yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang mengikuti program bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri berhasil memperoleh anak, bagaimanakah kedudukan hukum anak tersebut ? apakah anak tersebut dapat dikualifikasi sebagai anak sah atau tidak.
Apabila ditinjau dari Konsep KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tentang Perkawinan, sperma dan ovum yang digunakan serta tempat embrio ditransplantasikan di atas, maka nampaklah bahwa:
a.       anak itu secara biologis anak dari pasangan suami-istri;
b.      yang melahirkan anak itu adalah istri dari suami;
c.       Orang tua anak itu terikat dalam perkawinan yang sah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai anak sah. Oleh karena anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah; sperma dan ovum dari pasangan suami-istri; serta yang mengandung dan melahirkan adalah istri dari suami yang bersangkutan. Sedangkan intervensi teknologi adalah semata-mata untuk membantu proses pembuahannya saja, yang dalam pembuahan tersebut terjadi dalam tabung gelas yang proses selanjutnya tetap berada dalam rahim istri yang sah.
Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat dan pandangan teoritis dan praktis di bidang hukum mengenai kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang bersangkutan.
Bismar Siregar mengemukakan bahwa : “Lahirnya keturunan melalui bayi tabung bukan sesuatu yang haram, tetapi kebolehan, dengan syarat dan ketentuan benih dari suami, lahannya rahim istri. Kedudukan anaknya sah. Sedangkan di luar itu haram tergolong perzinahan, jangan memasyaratkan”. Alasan Bismar Siregar mengemukakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung yang menggunakan sperma suami adalah anak sah, oleh karena ciri insan beriman dalam hal ia beragama Islam, ia percaya penuh terhadap apa yang terjadi atas dirinya tidak lain adalah ketentuan Tuhan-Nya.
Apabila diperhatikan terhadap apa yang dikemukakan oleh Bismar Siregar jelaslah bahwa di dalam menentukan kedudukan hukum bayi tabung yang menggunakan sperma suami, lahannya rahim istri adalah kebolehan bukan haram, dan kedudukan anaknya adalah sah. Hal ini bertitik tolak pada ajaran agama Islam yang bersumber pada Al Quran dan Al Hadis, yang mana prosedur bayi tabung sama halnya dengan proses terbentuknya manusia secara alami. Kemudian yang diartikan dengan kebolehan dalam hukum Islam adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam agama, tidak berdosa dan tidak berpahala jika dikerjakan atau ditinggalkan.
Pandangan di atas senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan Purwoto S. Gandasubrata.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa: Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami-istri yang tidak mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh bayi tabung daripada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran). Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu “menggantikan” atau sama dengan anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak atas pemeliharaan, pendidikan dan warisan orangtuanya.
Sedangkan menurut Purwoto S. Gandasubrata, bahwa: Hukum di Indonesia sebenarnya telah memberikan jalan kepada sepasang suami-istri yang tidak dikaruniai anak-keturunan untuk menggunakan lembaga hukum: mengangkat anak/ adopsi, anak piara, anak pungut, anak asuh, dan sebagainya untuk mengisi kekosongan dalam hidup kekeluargaan/ rumah tangganya. Selain itu dapat pula ditempuh cara lain yang mungkin dirasakan kurang terpuji, yakni berpoligami secara baik dengan persetujuan istri yang mandul, apabila hukumnya membenarkan hal itu ataupun dengan melakukan “kawin kontrak” khusus untuk memperoleh anak yang kurang manusiawi. Namun apabila jalan hukum itu tidak ingin ditempuhnya, maka proses “bayi tabung” yang menggunakan ovum berasal dari pasangan suami-istri dan embrionya dipindahkan ke rahim istri itulah yang masih dapat diterima/ dipertanggung jawabkan sebagai “pintu darurat” yang menurut hukum dan mungkin menurut agama masih dapat dibenarkan”.
Pada prinsipnya ketiga pendapat dan pandangan di atas menyetujui penggunaan teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri dan kedudukan hukum anak tersebut adalah sebagai anak sah. Kemudian dalam konsep Kompilasi Hukum Islam, untuk mengetahui kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung yang menggunakan rahim titipan (surrogate mother) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 99 KHI yang menjelaskan definisi anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Apabila kita memaknai ketentuan pasal di atas, maka kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan rahim sewaan tidak dikualifikasi sebagai anak sah dan juga bukan sebagai anak luar nikah, karena lahirnya anak tersebut tidak melalui rahim perempuan yang terikat perkawinan yang sah.
Anak yang dilahirkan dari suatu rahim dengan tidak ada akad nikah disilsilahkan kepada ibunya yang melahirkan seperti anak zina walaupun bukan hasil dari perbuatan zina, dari itu anak yang dilahirkan bukan anak si ayah yang punya sperma, dengan demikian bila ia perempuan, ayah yang punya sperma tidak berhak menjadi wali sekaligus tidak saling waris mewarisi.
Anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan rahim sewaan dalam konsep KHI dikategorikan sebagai anak zina. Hal ini didasarkan karena dalam hal peminjaman rahim wanita untuk kandungan bayi hukumnya adalah haram, sebab setiap wanita hanya dapat dibenarkan menggunakan rahimnya untuk kandungan bayi yang berasal dari perkawinan sah, sehingga untuk anak yang dikandung dalam rahim wanita lain adalah termasuk anak zina, walaupun pelaksanaan ini tidak termasuk definisi zina, namun hukumnya sama-sama haram, hal ini disebabkan karena:
a.       Merusak keturunan (nasab).
b.      Mengacaukan status waris dan wali.
c.       Bila anak itu lahir kelak dan terjadi suatu perselisihan kepemilikan antara kedua ibu tersebut yang berdampak psikologis yang berat.
d.      Timbul permasalahan lagi kepada ibu yang mana si anak tersebut setelah ia besar, apakah ibu yang mempunyai rahim atau ibu yang mempunyai ovum.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik kepada Allah, daripada sperma yang diletakkan oleh seseorang pada rahim wanita yang tidak halal baginya.” (H. R. Ibnu Abiddunya dari Al-Haitam). Dan selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman dengan Allah dan hari kiamat bahwa disiramkannya air (mani)-Nya kepada yang bukan ladangnya.” (H. R. Abu Daud dan Tirmizi).

KESIMPULAN
Berdasarkan pernyataan yang di buat di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Dibolehkannya bayi tabung bagi suami istri yang sah, disebabkan karena manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. bagi suami istri yang sangat merindukan seorang anak, namun tidak bisa berproses secara alami, maka setelah diproses melalui bayi tabung, anak yang dirindukan itu akan segera hadir di sisinya. disinilah letak maslahatnya, sehingga kebolehannya didasarkan melalui mashlahat al mursalah. Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan, donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik kepada Allah, daripada sperma yang diletakkan oleh seseorang pada rahim wanita yang tidak halal baginya.” (H. R. Ibnu Abiddunya dari Al-Haitam). Dan selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman dengan Allah dan hari kiamat bahwa disiramkannya air (mani)-Nya kepada yang bukan ladangnya.” (H. R. Abu Daud dan Tirmizi).

DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbuddin. (2017) . Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta : Kalimedia.
Thamrin, Husni. 2014 . Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim.Yogyakarat : Aswaja Pressindo. 

Komentar